Konsep Berpikir Sinkronik dan Diakronik Dalam Sejarah

PKBM SILOAM - Ketika pertama kali mendengar istilah sinkronik dan diakronik, saya langsung merasa seperti kembali ke masa-masa sekolah, duduk di kelas sejarah, bingung dengan istilah-istilah rumit yang dilemparkan oleh guru. Tapi kemudian saya sadar, konsep ini sebenarnya relate banget kalau kita mau memahami cara sejarah bekerja—dan, jujur aja, cara kita memahami hidup juga.


Sinkronik: Melihat Sebuah Momen Seperti Kamera 


Pernah nggak, kamu melihat foto lama keluarga? Semacam foto lebaran tahun 90-an, semua orang pakai baju yang seragam tapi rambutnya... astaga, rambut bapak kamu mungkin bergaya jambul ala Elvis. Ketika kamu melihat foto itu, kamu mencoba memahami apa yang terjadi pada satu momen tertentu. Siapa yang ada di sana, apa yang mereka pakai, kenapa mereka senyum atau malah cemberut. Inilah cara berpikir sinkronik

Sinkronik itu seperti melihat sebuah titik waktu tanpa peduli bagaimana hal-hal sampai di situ. Fokusnya adalah pada "apa yang terjadi saat itu." Kalau dalam sejarah, ini artinya kita mempelajari satu masa tertentu tanpa terlalu menggali kronologinya. Misalnya, kalau kamu belajar tentang Perang Dunia II dari sisi tahun 1941 saja—tanpa menengok jauh ke belakang atau ke depan—kamu sedang menggunakan pendekatan sinkronik. 

Aku pernah pakai cara ini waktu nulis artikel tentang sejarah batik. Aku fokus ke batik kontemporer yang dipakai generasi sekarang, dan bagaimana maknanya berubah seiring zaman. Jadi, nggak terlalu dalam menggali bagaimana batik pertama kali muncul di zaman kerajaan dulu. Dan, ternyata pendekatan ini cocok buat bikin artikel yang to the point.

Diakronik: Menyusuri Waktu Seperti Detektif


Sekarang, coba pikirkan cerita di balik foto keluarga tadi. Misalnya, kenapa bapak kamu suka banget jambul ala Elvis? Bisa jadi karena saat itu sedang musimnya, atau dia dulu ngefans berat sama Elvis Presley. Kalau kamu mulai menghubungkan titik-titik itu, kamu sedang berpikir secara diakronik—melihat bagaimana sesuatu berkembang dari waktu ke waktu.

Diakronik itu seperti memutar video kehidupan, bukan cuma mengambil satu gambar. Dalam sejarah, ini berarti kita melacak bagaimana sebuah peristiwa terjadi dari masa lalu ke masa sekarang. Contohnya, saat mempelajari perjuangan kemerdekaan Indonesia, kita nggak cuma fokus ke tahun 1945 saja, tapi juga menggali periode panjang dari Perang Diponegoro, kebangkitan Budi Utomo, hingga Sumpah Pemuda.

Aku pernah mencoba pendekatan ini waktu mengerjakan tugas tentang teknologi komunikasi. Aku memulai dari masa telegram hingga era TikTok. Menelusuri perubahan itu ternyata bikin aku sadar, betapa cepatnya dunia berkembang—dan jujur aja, bikin kagum juga. Tapi di sisi lain, pendekatan ini sering kali bikin aku kewalahan. Karena semakin jauh menggali, semakin banyak hal yang terasa nyambung. Rasanya seperti mencoba membuka simpul tali yang kusut.

Mana yang Lebih Penting? Dua-Duanya!


Aku belajar bahwa nggak ada satu pendekatan yang lebih "benar." Kadang, kita butuh perspektif sinkronik buat memahami detail-detail yang spesifik. Tapi, tanpa diakronik, kita bisa kehilangan konteks besar. Kalau dalam hidup, ini kayak memutuskan apakah mau fokus ke masalah hari ini aja, atau memikirkan bagaimana keputusan hari ini bakal berdampak lima tahun ke depan. Dua-duanya penting.

Jadi, kalau kamu seorang pelajar, penulis, atau hanya seseorang yang suka belajar sejarah, coba gunakan dua pendekatan ini barengan. Misalnya, saat belajar tentang revolusi industri, jangan cuma lihat pada dampaknya di masa itu (sinkronik), tapi coba telusuri akar penyebab dan pengaruh jangka panjangnya (diakronik). 

Dan hey, kalau kamu punya pengalaman pakai dua pendekatan ini dalam hal lain, aku penasaran banget dengar cerita kamu! 😊

Posting Komentar